Jumat, 05 Februari 2010

mahameru

Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.



MANDALAWANGI-PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang - jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara tentang kehampaan semua

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa menawar
"Terimalah dan hadapilah"

Dan antara ransel ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas hutan hutanmu, melampaui batas batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta keberanian hidup

-- Soe Hok Gie
Jakarta, 19 July 1966



#

MEMORIAM

Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tergadah & berkata, kesanalah Soe Hook Gie & Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara desember menabur gerimis

Mengenang wafatnya SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS...
16 Desember 1969 - 16 Desember 2009 (Puncak MAHAMERU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar