Kamis, 18 Februari 2010
i believe that if we dont stop destroying the earth.
mother nature would go all out to destroy us.
i dont believe that we all would die by the apocalypse
or as you idiots know it as the huge asteroid that will destroy the earth.
i think we all will die by:
starvation
flood
an infectious virus
yes!i think that all animals&plants would suffer and die first.
and we would be next.
so stop all your nonsense and atleast help
save the earth.
recycle,reuse,reduce.
stop all the burning of rubbish which is not needed to do so,
you burn. you still have to clean up the ashes right?
you sweep them into the nearest longkang
and when the drains get flooded
you blame the government and shit!
don't blame them. BLAME YOURSELF!
if only the world would go organic.
the people didnt discover "technology"
Our great grand children would not suffer.
Or even our children!
HAHAHAHA
somehow i feel im talking rubbish here.
but to me this makes sense.
nvm..take your time
to absorb all this information
into your small peanut sized brain.
thanks!
Rabu, 10 Februari 2010
pEnDaKiAN
Bias cakrawala
Indah nian terangi maya pada
Penuh mesteri dari sang illahi
Langit yang membiru
Alam tersenyum manis
Sambut sinar sang mantari
Angin tiupkan kidung cinta
Buat alam semesta
Tapi…….
Manusia hanya bisa berkata cinta
Tak banyak yang mengerti
Makna dari sebuanh cinta
Hingga cemari udara
Dengan berbagai limbah dunia
Andai s...edikit saja meraka sadar
Betapa indahnya dunia dengan cinta
Tak akan ada perang
Tak akan ada bencana
Indah nian terangi maya pada
Penuh mesteri dari sang illahi
Langit yang membiru
Alam tersenyum manis
Sambut sinar sang mantari
Angin tiupkan kidung cinta
Buat alam semesta
Tapi…….
Manusia hanya bisa berkata cinta
Tak banyak yang mengerti
Makna dari sebuanh cinta
Hingga cemari udara
Dengan berbagai limbah dunia
Andai s...edikit saja meraka sadar
Betapa indahnya dunia dengan cinta
Tak akan ada perang
Tak akan ada bencana
Jumat, 05 Februari 2010
mahameru
Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.
Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.
“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
MANDALAWANGI-PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang - jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa menawar
"Terimalah dan hadapilah"
Dan antara ransel ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas hutan hutanmu, melampaui batas batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta keberanian hidup
-- Soe Hok Gie
Jakarta, 19 July 1966
#
MEMORIAM
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi
Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tergadah & berkata, kesanalah Soe Hook Gie & Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara desember menabur gerimis
Mengenang wafatnya SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS...
16 Desember 1969 - 16 Desember 2009 (Puncak MAHAMERU
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.
Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.
“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
MANDALAWANGI-PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang - jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa menawar
"Terimalah dan hadapilah"
Dan antara ransel ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas hutan hutanmu, melampaui batas batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta keberanian hidup
-- Soe Hok Gie
Jakarta, 19 July 1966
#
MEMORIAM
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi
Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tergadah & berkata, kesanalah Soe Hook Gie & Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara desember menabur gerimis
Mengenang wafatnya SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS...
16 Desember 1969 - 16 Desember 2009 (Puncak MAHAMERU
Langganan:
Postingan (Atom)